Pengalaman menunjukkan bahwa calon mempelai biasanya bingung dengan ungkapan ’saling mencintai sebagai suami-istri dan kepada pembangunan keluarga’ ini. Mereka merasa sudah saling mencintai, kok masih ditanya soal ini. Masalahnya, sering tidak disadari bahwa cinta itu bermacam-macam. Ada cinta sebagai saudara, ada cinta sebagai sahabat, ada cinta karena belas kasihan, demikian pula ada cinta suami-istri. Tentu saja, yang namanya cinta sejati tidak pernah dapat berbeda-beda. Yesus menunjuk cinta sejati itu sebagai orang yang mengorbankan nyawa-Nya bagi yang dicintai-Nya. Dan Yesus memberi teladan dengan hidup-Nya sendiri yang rela sengsara, bahkan sampai wafat untuk kita semua yang dicintai-Nya. Namun, perwujudan cinta sejati itu ternyata bisa beraneka-ragam. Kekhasan dari cinta suami-istri adalah adanya keterikatan istimewa yang membuat mereka dapat menyerahkan diri seutuhnya bagi pasangannya. Dalam hal ini kiranya cinta suami-istri dapat disejajarkan dengan cinta yang diwujudkan dalam suatu kaul biara atau janji seorang imam. Bedanya, kalau kaul biara atau janji seorang imam tertuju kepada Tuhan di dalam umat-Nya; dalam perkawinan cinta itu tertuju kepada Tuhan di dalam pasangannya.
Yang mau dituju adalah membangun suasana saling mencintai sebagai suami/istri. Maka, tidak hanya membabi buta dengan cintanya sendiri. “Pokoknya saya sudah mencintai”. Ini tidak cukup. Perjuangan seorang suami/istri adalah di samping memelihara dan memperkembangkan cintanya, juga mengusahakan supaya pasangannya dapat ikut mengembangkan cintanya sebagai suami/istri.
Hidup dalam persekutuan sebagai suami-istri mau tidak mau mewujudkan suatu keluarga. Harus siap untuk menerima kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai keluarga, baik di hadapan saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di hadapan masyarakat pada umumnya. Maka, membangun hidup sebagai suami-istri membawa juga kewajiban untuk mampu menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan dengan pasangannya. Mampu bekerjasama menerima, memelihara dan mendewasakan anak, mampu bekerjasama menerima atau datang bertamu kepada keluarga-keluarga lain, mampu ikut serta membangun Gereja. Semuanya dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.