Sakramen Perkawinan
Perayaan Ekaristi Hari Minggu Sabtu: 18.00; Minggu: 06.30, 08.30, 17.00
Perayaan Ekaristi Harian Senin - Sabtu: 05.30

Apa yang pertama-tama kelihatan pada perkawinan Katolik? Jawabnya adalah: Hidup bersama. Namun, hidup bersama itu masih beranekaragam isinya. Dalam perkawinan Katolik, hidup bersama itu mewujudkan persekutuan. Jadi, hidup bersama yang bersekutu.

Bersekutu mengisyaratkan adanya semacam kontrak, semacam ikatan tertentu dengan sekutunya. Bersekutu mengandaikan juga kesediaan pribadi untuk melaksanakan persekutuan itu, dan untuk menjaga persekutuan itu. Ada kesediaan pribadi untuk mengikatkan diri kepada sekutunya, dan ada kesediaan pribadi untuk memperkembangkan ikatannya itu supaya menjadi semakin erat.

Ikatan ini tidak mengurangi kebebasannya. Justru ikatan itu mengisi kebebasan orang yang bersangkutan. Pertama-tama karena para calon mempelai memilih sendiri untuk bersekutu, dan bebas untuk memilih mau bersekutu dengan siapa, memilih untuk terikat dengan menggunakan kebebasan sepenuhnya; tetapi juga karena kebebasan itu hanya dapat terlaksana dalam melaksanakan pilihan-nya untuk bersekutu ini. Dengan kata lain boleh dikatakan bahwa persekutuan itu membuat orang sungguh-sungguh bebas karena dapat memperkembangkan kreativitas dalam memelihara dan mengembangkan persekutuan itu; bukan dengan menghadapkan diri pada pilihan-pilihan yang baru lagi. Persekutuan hidup antara ‘seorang pria dan seorang wanita’ dalam perkawinan Katolik yang dibangun itu menjadi tugas kehidupan yang harus dihayatinya. 

Penekanan pertama di sini adalah seorang dengan seorang: artinya orang seutuhnya dengan orang seutuhnya. Ini menggambarkan penerimaan terhadap satu pribadi seutuhnya. Yang diterima untuk bersekutu adalah pribadi, bukan kecantikan, ketampanan, kekayaan atau kepandaiannya saja. Ada beberapa catatan untuk penerimaan satu pribadi ini: Pertama, menerima pribadi itu berarti menerima juga seluruh latar belakang dan menerima seluruh masa depannya. Artinya, saya tidak dapat menerima pribadi itu hanya sebagai satu pribadi yang berdiri sendiri. Selalu, saya harus menerima juga orang tuanya, kakak dan adiknya, saudara-saudaranya, teman-temannya, bahkan juga bahwa dia pernah berpacaran atau bertunangan dengan si ini atau si itu. Lebih jauh lagi, saya juga harus menerima segala sesuatu yang terjadi padanya di masa mendatang: syukur kalau ia menjadi semakin baik, tetapi juga kalau ia menjadi semakin buruk karena penyakit, karena ketuaan, karena halangan-halangan; saya masih tetap harus menerimanya. Yang ke dua, menerima pribadi berarti menerima dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau dipikir secara matematis: yang bersekutu itu satu dengan satu; bukan 3/4 + 1/2, atau 1 + 6/8; lebih-lebih lagi, bukan satu dengan satu setengah, satu seperempat, atau satu tiga perempat, apalagi dengan dua, tiga, dan seterusnya. 

Dengan ungkapan lain lagi: Saya seutuhnya, mau mencintai dia seutuhnya/apa adanya. Ini berarti, saya mau menerima dia seutuhnya, apa adanya; tetapi juga sekaligus saya mau menyerahkan diri seutuhnya kepadanya saja. Yang lain sudah tidak mendapat tempat lagi di hati saya, di pikiran saya. Hanya dia saja. Bahkan, anak-anakpun tidak boleh melebihi dia di hadapan saya,dalam pelayanan saya.

Penekanan kedua pada seorang pria dengan seorang wanita. Yang ini kiranya cukup jelas. Hanya yang sungguh-sungguh pria dan yang sungguh-sungguh wanita yang dapat melaksanakan perkawinan secara Katolik.