Pak Kisman adalah seorang pensiunan guru yang bekerja sebagai penjaga palang pintu lintasan kereta api. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil di dekat lintasan kereta api itu. Tugasnya setiap hari adalah berjaga di dalam sebuah pondok kecil. Bila ada kereta yang hendak lewat di lintasan itu, ia harus menutup palang pintu sehingga kendaraan lain tidak dapat melintas sewaktu kereta lewat. Sebagai seorang mantan guru sejarah, ia suka dan pandai sekali bercerita. Namun, dari antara seluruh kisah-kisah yang sering diceritakannya, ada satu yang amat menarik, yakni kisah tentang pengalamannya sendiri pada suatu malam Natal. Inilah kisahnya itu...
Pada malam Natal itu, aku sedang duduk berjaga di pondok kecil di dekat lintasan kereta api. Di dalam pondok tersebut ada sebuah radio yang memperdengarkan lagu-lagu Natal, namun aku merasa kesepian karena tak ada teman seorang pun yang bisa kuajak bicara untuk melewati malam Natal bersama. Maka aku berdoa dalam hati, berharap ada suatu kejadian menarik yang dapat mengusir rasa sepi itu.
Jam menunjukkan beberapa menit menjelang pukul dua belas tengah malam, ketika aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Aku heran, karena biasanya pada saat-saat seperti itu hampir tidak ada pejalan kaki yang lewat, maka aku segera melongok keluar. Ternyata seekor keledai kecil sedang berdiri di tepi rel kereta api. Di daerah tempatku tinggal jarang sekali terdapat keledai, dan hewan yang sedang berdiri di dekat rel kereta api itu kelihatannya jinak. Ia berdiri saja di situ sambil menatapku lewat matanya yang bercahaya, seakan-akan mengenali aku. Lalu tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh, suasana di sekelilingku menjadi sunyi, jam seolah berhenti berdetak, dan waktu seakan berhenti, suara kendaraan di kejauhan pun terdengar semakin menjauh...
Meskipun aku maupun keledai itu sama-sama diam, tak bersuara, namun anehnya aku merasa bahwa kami dapat berkomunikasi lewat pikiran kami masing-masing—barangkali inilah yang disebut orang sebagai telepati. Lewat pikirannya, keledai itu seolah-olah berkata bahwa ia telah diutus untuk menjawab doaku yang sedang kesepian, dan menemaniku melewati malam Natal sambil bercerita tentang ‘Malam Natal Pertama’ yang terjadi di Betlehem 2000 tahun yang lalu. Keledai itu mengatakan bahwa ia adalah ‘Samson’ – seekor keledai yang kuat – yang pada malam bersejarah itu ditunggangi oleh Maria yang sedang hamil tua dalam perjalanan dari Nazaret ke Betlehem.
Lalu keledai itu bercerita: “Sepanjang hari itu aku dapat mengetahui bahwa waktunya sudah dekat bagi Maria untuk melahirkan bayi dalam kandungannya, karena sepanjang perjalanan ia terus duduk dengan resah di atas punggungku. Suaminya tahu bahwa aku dapat membawa sang istri dengan aman melewati jalan yang berbatu-batu itu. Ia berada di depan, membuka jalan bagi kami sementara kami mengikutinya dari belakang. Sesekali ia menoleh, memastikan bahwa kami masih mengikuti tak jauh di belakangnya. Setiap kali menoleh ke belakang, ia selalu tersenyum untuk menenangkan hati istrinya, meski aku dapat merasakan bahwa ia pun diliputi perasaan tegang. Aku juga dapat merasakan bahwa Sang Bayi akan segera lahir tengah malam itu sebelum matahari terbit. Dan itu berarti kami harus cepat-cepat menemukan tempat untuk berteduh.”
Sampai disini keledai itu berhenti sejenak. Perasaan bahagia menyelimuti diriku, segala kesepian dan kesedihanku lenyap. Cerita Samson berlanjut, kali ini adalah pada saat Anak yang dilahirkan Maria itu telah berusia sekitar delapan atau sembilan tahun. Samson pun telah bertambah tua, namun masih cukup kuat untuk mengangkut kayu-kayu atau meja-kursi dari tempat tukang kayu. Sebelum berangkat, Anak itu biasanya memeriksa terlebih dahulu letak kayu pikulan di punggung Samson agar tidak melukainya.
Keledai itu menyambung lagi ceritanya: “Saat-saat yang terindah adalah ketika Anak itu tidak pergi ke sekolah, dan aku pun tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan. Pada saat-saat seperti itu, IbuNya akan menyiapkan makan siang untukNya, lalu kami berdua mendaki bukit, di mana bunga-bunga liar tumbuh bermekaran dengan indahnya di dataran rumput yang luas, dan kami dapat memandang seluas mungkin hingga jarak satu mil dari tempat kami berdiri. Atau kami berbaring diam-diam di padang rumput sambil memperhatikan kafilah-kafilah yang datang dari Damaskus, dari kejauhan masih bisa terdengar gemerincingnya bunyi kelenengan unta-unta yang lewat itu.
Kadang-kadang kami juga menyaksikan barisan tentara Roma dengan baju perang dan helm yang berkilauan tertimpa sinar matahari, sedang di sekitarnya domba-domba merumput dengan tenang. Sementara waktu pun terus berlalu bagaikan awan yang beriringan tertiup angin di langit yang cerah. Adakalanya Anak itu tertidur dengan menyandarkan kepalaNya yang berambut ikal ke punggungku. Di lain waktu Ia menganyam jalinan bunga-bunga liar dan menggantungkannya di sekeliling telingaku. Ia memandangku dan tertawa terpingkal-pingkal melihat tampangku. Lalu Ia akan melompat ke atas punggungku, dan kami berdua berlari menuruni lereng bukit, melewati sekawanan domba yang sedang merumput dengan tenang sehingga mereka tercerai-berai, dan para gembala berteriak-teriak memaki-maki kami.....”
Sampai disini aku tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah suara keras, yang ternyata adalah lonceng yang tergantung di atas pintu pondok, yang memberi tanda bahwa ada kereta yang hendak lewat, dan aku harus segera menutup palang pintu. Aku langsung tersadar, dan ketika aku melirik ke arah jam tanganku, ingin tahu berapa lama waktu telah berlalu, ternyata jarum jam masih belum melewati angka 12, yang berarti waktu masih belum lewat tengah malam—persis sama dengan waktu ketika aku pertama kali melihat keledai itu. Ketika aku teringat kembali dan menoleh ke arah Samson – si keledai itu – tadi berdiri, ternyata ia sudah menghilang, dan suasana pun kembali lengang.....
Sumber: unknown