(Bacaan Luk. 21:1-4)
Ada perlombaan olahraga (atletik) di suatu sekolah dengan bermacam-macam jenis olahraga. Antara lain memanjat tali/tiang, lompat jauh, lompat indah. Semua perlombaan ini akan dinilai dan diuji pada akhir semester. Yang meraih nilai terbanyak akan mendapat sebuah piala indah dengan namanya tertera di situ.
Adalah seorang anak yang bernama John. Ia seorang yang pandai dan selalu juara kelas, tetapi memiliki tubuh yang gemuk sehingga ia tidak dapat berolahraga sebaik teman-temannya. Pemimpin atletik adalah seorang yang ramah. Salah satu perlombaan yang sangat sulit dan mengasyikan adalah memanjat tali. Ketika pemimpin atletik mengatakan, "Mulai!" mereka mulai memanjat. Siapa yang mencapai puncak dalam waktu sepuluh detik akan mendapat nilai sepuluh. Jika waktu yang dibutuhkan enam detik, nilainya enam puluh. Jika tiga detik, nilainya 150. Untuk ini tentunya mereka harus mempunyai tubuh yang lentur dan otot yang kuat.
Beberapa anak memanjat dengan cepat. Namun bagi John, perlombaan ini sangat memalukan. Tubuhnya terlalu gemuk sehingga ia tidak kuat membawa badannya untuk memanjat. Maka dalam setiap perlombaan panjat tali, John hanya berjuntai tanpa daya di tengah olok-olokan teman-temannya. Bagi beberapa temannya, itu merupakan kesempatan untuk memperoleh nilai A yang biasanya diperoleh John di kelas. Usaha John untuk memanjat sia-sia. Semua usahanya hanya akan membuat lehernya membengkak dan wajahnya merah padam karena malu sebab teman-temannya berteriak, "Kenapa John? Ayo! Ceoat naik! Naik! Naik lagi...!"
Pada ujian akhir semester ketika nama John dipanggil untuk mendapat giliran panjat tali ini, ia mundur teratur. Akan tetapi, pemimpin atletik yang ramah itu berkata, "Ayo, John, tidaklah kamu mau mencoba barang sekali saja untuk memanjat tali itu?" Kata John, "Tidak." Penonton pun menyorakinya dengan riuh, tetapi dengan ramah pemimpin atletik menatap John dengan lembut dan berkata menantang, "Aku akan memberimu satu poin bila kamu mencoba." SATU POIN BILA MENCOBA! Anak-anak yang lain pada waktu itu mendapat nilai 60, 80, bahkan ada yang mendapat 100. Sepertinya, satu poin itu bukan tawaran yang berharga. Namun, John melangkah maju meskipun teman-teman mengolok-olok dia. Ia memegang tali, dan berjuntai di situ tanpa daya seperti biasanya. Ia terengah-engah sesaat, tidak beranjak, lalu mundur, Gagal seperti biasanya. Sementara itu pemimpin atletik dengan mantapnya menuliskan angka satu untuk John. Tentu saja orang lain yang memenangkan piala indah itu. Namun..., menurut Anda, siapakah yang mendapatkan piala tersebut bila pencatat nilai John adalah ORANG yang sama dengan ORANG yang memerhatikan si janda miskin?
Bila para malaikat menghitung perolehan angka pada akhir tahun ajaran, mereka melihat ada banyak yang mendapat nilai seratus. Ketika mereka sampai pada nama John, mereka hanya melihat angka satu. Namun, para malaikat itu juga melihat olok-olokan yang termasuk dalam angka satu itu bagi usaha John. Maka, dengan segera mereka menambahkan banyak angka nol di belakang angka satu itu dan... John mendapat nilai jutaan!
Dari sudut pandang Allah, bukan perolehan atau prestasi, melainkan USAHA, yang diperhitungkan. Jika kita menerima kepapaan dan keterbatasan kita, dan terus mau mencoba maju, kita akan mendapat nilai yang tinggi, seperti yang diperoleh John atau si janda miskin itu. Allah dengan rahmat-Nya mendorong kita untuk mencoba dan berusaha, walaupun mungkin secara manusiawi kita mengetahui bahwa usaha kita itu tidak akan atau belum tentu berhasil. Misalnya, dalam mentaati dan memegang teguh ajaran Yesus, "Berdoalah bagi musuh-musuhmu." Tampaknya bersikap baik kepada musuh tidak mungkin
kita lakukan, tetapi saat ini Yesus mengatakan, "Aku akan memberimu satu poin bila engkau mencoba!"
Jadi inilah alasannya. Jika kita berusaha dan menerima satu poin maka satu poin itu berharga karena Allah dapat menambahkan sekian banyak angka nol di belakangnya. Rahmat-Nya akan menopang kita jika berusaha. Akan tetapi, jika poin penting (satu) itu hilang karena kita tidak mau mencoba atau berusaha, penambahan angka nol menjadi sia-sia saja. Nilai kita hanya "nol".
Sumber: Vacare Deo Edisi V/XI/2009