Sharing
Perayaan Ekaristi Hari Minggu Sabtu: 18.00; Minggu: 06.30, 08.30, 17.00
Perayaan Ekaristi Harian Senin - Sabtu: 05.30

“Saya kok heran ya, teman saya lho, di dunia nyata tenang, so cool, kok di medsos vulgar banget! Kok bisa ya?”


Who Am I

Ini salah satu pertanyaan mahasiswa saya yang boleh jadi menjadi pertanyaan banyak orang ketika terjadi perubahan dan perbedaan sikap antara dunia nyata dan dunia cyber (maya). Seseorang yang pendiam dalam kehidupan sehari-hari, bisa-bisa di media sosial menjadi banyak omong, suka ngoceh. Lain lagi dengan kasus ini, ada pula yang tertipu oleh rayuan gombal dari seorang yang memasang foto profil cewek, tetapi ternyata yang menggunakan media sosial itu seorang pria. Jadi ada manipulasi identitas. Beberapa gadis tertipu oleh godaan teman barunya (seorang pria) yang sok alim, tetapi ternyata seorang perampok yang mengambil sekian banyak uang milik gadis itu. Masih banyak lagi pengalaman atau kasus yang dapat kita jumpai terkait perubahan dan perbedaan sikap seseorang di dunia nyata (perjumpaan face to face) dan dunia maya. Mengapa demikian?

Pertama, sadar atau tidak, dunia cyber, menyiapkan panggung (stage) untuk siapa pun berekspresi. Dalam teori Erving Goffman, panggung itu sebenarnya ada dua, panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Dalam kaitan dengan ulasan ini, para pengguna media sosial mengondisikan dan dikondisikan bahwa dunia cyber itu adalah front stage, panggung depan. Sebagai front stage, apa pun yang ditampilkan selalu dalam pengertian “sesuatu yang diharapkan”. Tentu tujuannya macam-macam, misalnya agar mendapat kesan baik dari orang lain, dipuji, dihormati, dihargai, dicintai, dikagumi, bahkan dibenci dan di-bully, dicaci maki dll. karena memang itu “yang diharapkan”.

Kedua, dengan menampilkan diri sebagaimana pada poin pertama, para pengguna media sosial sedang menyalurkan apa yang selama ini dipendam karena ruang berekspresi di dunia nyata dianggap terbatas sedangkan ruang berekspresi di dunia maya “diberikan secara luas.” Jadi tidak heran jika ada rekan yang minim ekspresi di dunia nyata, kini menjadi begitu ekpresif di dunia maya.

Ketiga, pada sisi yang lain, dengan menganalogikan dunia cyber sebagai front stage kita juga diajak untuk melihat panggung belakang atau back stage. Ekspresi yang bebas menjadi sebuah ironi ketika hal itu ditunjukkan untuk mengelabui sisi gelap (dark shadow) yang disembunyikan di back stage. Pada wilayah ini, segala hal disembunyikan dan menjadi pengetahuan sendiri. Dalam konteks ini, munculnya pelbagai bentuk penipuan biasanya dirancang, dirumuskan, dan dieksekusi pada wilayah back stage ini.

Keempat, berkembangya pelbagai bentuk penipuan di dunia maya, bisa juga disebabkan oleh berkembangnya sikap apatis (masa bodoh) untuk tidak mengetahui latar belakang seseorang secara detail di media sosial. Terlebih, ketika sikap apatis ini dialami sebagai suatu kenyamanan yang memudahkan masing-masing orang untuk berinteraksi.

Kelima, orang Indonesia dan negara-negara Asia umumnya diidentifikasi dan mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari kelompok tertentu, entah itu etnis, agama, pekerjaan, paguyuban, kelas sosial, hobi, dll. Hal ini yang mendorong pengguna media sosial untuk menampilkan diri sebagaimana “yang diharapkan” oleh kelompok sebab ketika ia berbeda dari apa yang diharapkan oleh kelompok, secara sosial seseorang akan “dicemooh” bahkan didiskriminasikan oleh kelompoknya. Masalah politik dan keterbelahan masyarakat dalam kubu-kubu, pasca pilkada Jakarta adalah salah satu contoh bagaimana masing-masing orang berusaha untuk stay cool pada kelompok pendukung tertentu karena kesamaan dalam apek tertentu misalnya agama, etnis, dll walaupun bisa saja pendapatnya berbeda dari pendapat kelompok.

Keenam, seiring berkembangnya teknologi - berkembang pula teknik-teknik yang manipulatif, yang justru mendukung individu untuk melakukan manipulasi atas foto atau gambar tertentu yang justru mengecoh orang lain yang melihatnya. Sayangnya, mata kita mudah tertipu oleh gambar atau foto yang dipajang.


Faktor-faktor ini telah turut mendukung individu untuk membelah pribadinya menjadi pribadi-pribadi yang tak terhingga sehingga terjadi permainan identitas, munculnya identitas baru, identitas palsu, identitas ganda yang berbeda dengan identitas di dunia nyata. Sebagai pengguna media sosial, bagaimana dengan Anda? Seperti apa identitas Anda di media sosial? Apakah Anda menampilkan diri apa adanya? Atau Anda juga sering bermain peran?

( Bill Halan, dosen ISBD Univ, Ciputra Surabaya, WA : 081233414757, email : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. )